Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget HTML #1

Kegelisahan Ibu | Cerpen Kadia Annisa Rinjani

kegelisahan ibu


Kegelisahan Ibu

Oleh: Kadia Annisa Rinjani

“Aku dimana?” Itu adalah kalimat pertama yang kuucap setelah matahari mulai menerobos dari balik jendela. Kurasakan hangat sinarnya memeluk tubuhku sambil membantuku berfikir dimana aku berada. “Oh! Aku berada di rumah temanku.” 

Baru kali ini aku menjadi sepelupa ini, mungkin akibat bergadang semalaman sambil menangis tanpa henti. Penyebabnya apalagi lagi kalau bukan masalah dengan ibuku. Memang ini adalah kebiasaanku sedari kecil yang sering cek-cok dengan ibuku. Mulai dari hal remeh-temah dan hal-hal yang sesungguhnya tidak besar tetapi diperbesar untuk mencari celah agar bisa bertengkar.

Seperti halnya sekarang, aku berada di rumah temanku karena melarikan diri dari ibu yang sudah marah-marah semalaman. Padahal menurutku, hal yang dipermasalahkan oleh ibu tidak separah itu. Karena aku pikir aku sudah remaja sekarang. Ibu saja yang terlalu membesarkan masalah dan membuat seolah aku adalah anak yang tak tahu apa-apa.

Karena terlalu banyak berfikir tentang hal itu membuat kepalaku menjadi pusing. Kubuka handphone dan kulihat banyak sekali pesan dari ibu. Dia terlihat sangat khawatir denganku. Karena aku langsung pergi meninggalkan rumah begitu saja. Namun aku terlalu malas membuka pesan-pesan dari ibu. Toh dia juga yang menyebabkan aku pergi dari rumah. Kenapa sekarang malah dia yang  gelisah. Dia kan tau anaknya ini masih remaja yang masih labil dan tidak bisa mengontrol emosi dengan baik. 

Jadi, cerita sebenarnya begini. Kemarin malam aku sempat bermain sampai lupa waktu. Seperti biasa aku sering berkumpul bersama teman-teman sekolahku. Namun kali ini durasinya sedikit lama. Sejak pulang sekolah sampai sekira pukul 21.30-an baru aku pulang ke rumah. Aku sedikit panik karena biasanya aku bermain hanya sampai jam 17.00. Pulang jam segitu pun udah diperingati apalagi aku pulang jam sembilan malam. Dan benar saja setelah sampai rumah ibu sudah menunggu di depan pintu. Dia terlihat seperti monster yang sudah siap menyerang mangsanya. Disitulah perdebatan dengan ibu dimulai. Aku sudah minta maaf berkali-kali tetapi sepertinya ibuku tidak ingin mendengar kata maaf dariku dan terus mengoceh. Aku bingung harus bilang apa lagi. Ketika aku diam ibu berkata, “Kenapa diam saja, apa kamu tidak tahu dimana letak kesalahanmu!?” Baiklah, aku bicara, tetapi ketika aku berbicara ibu malah berkata, “Kenapa menjawab, apa seperti ini tata krama yang ibu ajarkan padamu?”

Aku sungguh bingung. Apa sih yang orang tua ini mau?, pikirku. Ketika aku mencoba menjawab dia menyalahkanku, diam pun dia menyalahkanku juga. Dan entah kenapa otakku malah berinisiatif untuk pergi saja dari rumah. Tanpa berpikir dua kali aku langsung balik kanan dan kabur saat itu juga. Ibu terlihat panik saat melihatku berlari saat itu.

“Kamu mau kabur dari kesalahanmu, kalau begitu sekalian saja tak usah pulang ke rumah!” Kata ibu dengan nada keras.

Mungkin ibu berfikir aku akan pulang ketika merasa lapar dalam beberapa jam. “Kalau sudah lapar nanti kamu pasti pulang.” Kata ibu sayup-sayup kudengar saat masih di pintu gerbang.

Aku yang mendengar kata-kata itu dari mulut ibuku entah mengapa hatiku merasa teriris-iris. Tanpa terasa pipi ini basah kuyup oleh air mata sambil berlari di tengah kegelapan. 

Di tengah perjalanan aku menelpon temanku terlebih dahulu agar menungguku di depan pintu rumahnya. Aku juga tak ingin bertemu dengan orang tuanya dalam keadaan seperti ini. Sampai disana temanku langsung nyerocos, “Kamu kenapa? Siapa yang membuatmu menangis? Siapa yang menyakiti perasaanmu? Dan seabrek pertanyaan aneh-aneh dilontarkannya yang malah membuatku air mataku mengalir semakin deras. 

Aku terdiam sejenak. Aku ingin bercerita tetapi sepertinya hal ini terlalu kekanak-kanakan menurutku. 

“Jika kamu belum bisa menceritakannya tak usah diceritakan, tetapi ketika kamu sudah siap aku akan mendengarkanmu kapan pun.” 

Setelah mendengar kata-katanya itu aku pun menyadari, kupikir aku adalah orang paling beruntung di dunia ini karena mempunyai teman yang pengertian. Merasa beruntung karena ada orang yang siap mendengar ceritaku dikala sedih. 

Begitulah ceritanya mengapa aku sampai tidur di rumah teman. Sebetulnya aku juga tak ingin bertengkar dengan ibu. Tapi perkataannya sempat membuatku shock yang berujung meninggalkan rumah. Setelah beberapa menit merenungi hal ini. Akhirnya akupun menyerah. Lalu kubuka room chat whatsapp ibu dan kulihat ibu sangat menyesal telah memarahiku. Ia sadar akan kesalahannya dan ingin berubah demi anaknya. Kulihat pesan itu berakhir pada pukul 01.00 dini hari. Sepertinya dia tak tidur semalaman karenaku. Seharusnya aku tak melarikan diri dari kesalahanku. Karena setelah kupikir-pikir, ibu hanya ingin melindungiku dari dunia yang keras ini, namun tanpa sengaja membuatku tersakiti. 

Aku memberitahu temanku bahwa aku akan pulang kerumah. Awalnya dia tak mengizinkanku dan menyuruhku agar tetap tinggal di rumahnya. Sepertinya dia terlihat sangat khawatir padaku. Namun aku tetap memutuskan untuk pulang. Aku pun berjanji akan menceritakan hal ini setelah semuanya selesai, dan meyakinkannya bahwa saat pulang nanti aku akan langsung menyelesaikan masalahku. 

Ketika sampai di rumah aku melihat ibu duduk di ruang tengah menonton televisi sambil menangis. Ia melihatku berdiri di depan pintu dan langsung berlari memelukku. Ia meminta maaf kepadaku dan berjanji akan berubah untukku. Aku juga meminta maaf kepada ibu karena pergi begitu saja. Ibu berkata dia sangat menyesal telah memarahiku. Katanya dia sangat khawatir denganku. Banyak kata-katanya yang membuat mataku seperti dipercikkan air bawang. Setelah berhenti menangis, kami berdua memutuskan untuk mengubah diri dan tidak mengulangi hal serupa lagi. 



---------------------------------
Tentang Penulis
KADIA ANNISA RINJANI (14)
Siswi MTs NW Boro'Tumbuh Kelas IX

Post a Comment for "Kegelisahan Ibu | Cerpen Kadia Annisa Rinjani"